Bukan Lagu Udin Sedunia

Dalam setiap praktik terbaiknya, jurnalisme dihantui kekerasan. Dalam jejak kebebasan pers paling ideal, jurnalisme dibayangi pembunuhan.

 

UDIN menambah panjang daftar “wartawan kebetulan”. Gagal meraih cita-cita menjadi tentara TNI AD karena tak lulus tes penjaringan, Udin kemudian menjadi wartawan harian Berita Nasional (Bernas) Yogyakarta. Tanpa pengetahuan jurnalistik, Udin praktis membangun karir kewartawanannya dari nol. Pria bernama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin ini lahir di Gedongan Trirenggo, Bantul, 18 Februari 1963.

Dengan motor merah buatan tahun 1980 atau sepeda onthel pinjaman, Udin menjelajahi Bantul, pos pemberitaannya, untuk menyetor rata-rata 3 berita per hari. Beberapa tulisan Udin adalah “Nama sudah Diatur oleh Pusat Anggota Dewan Akibat Bonek”, “Penolakan Mendagri karena Tak Ada Restu dari Pangab”, “Sri Roso Sudarmo dan Moesarip Santer Diberitakan”, dan “Dana IDT Hanya Diberikan Separo”. Berkat aktivitas jurnalistiknya ini, Udin sempat menerima ancaman akan diseret ke pengadilan oleh beberapa kalangan. Ia tidak ambil peduli.

Istri Udin, Marsiyem, akan selalu mengingat malam yang jahat itu. Selasa malam, 13 Agustus 1996, sekitar pukul 22.30 WIB, di rumahnya Jalan Parangtritis Km 13, Yogyakarta, tamu tak dikenal mengetuk pintu dengan maksud menemui Udin. Lepas beberapa saat, Marsiyem hanya menemukan Udin tergeletak di lantai dengan kepala terluka akibat benda tumpul.

Udin mengalami trauma di otak dan mesti mendapat operasi. Operasi itu gagal. Tiga hari kemudian, 16 Agutus 1996, satu hari menjelang perayaan kemerdekaan RI, udin meninggal dunia. Jenazah Udin beristirahat di pemakaman umum Trirenggo, Bantul, Yogyakarta.

Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo, menulis untuk Udin di harian Bernas 24 Agustus 1996, “Jika saya mati hari ini atau besok pagi, saya ingin berdiri, kalau diperkenankan Tuhan, di belakang arwah Udin yang sedang menghadap-Nya. Dan saya akan merasa bangga karena itu. Kini orang menyelesaikan persoalan dengan jalan pintas; membunuh, mengurung, membisukan orang lain. Terkadang kita jadi bertanya-tanya benarkah hari ini manusia memang layak mewakili Tuhan di bumi. Hanya jiwa yang tidak gentar seperti Udin yang bisa mengingatkan kita; kita bukan makhluk nista.”

Sebelum gugur, Udin sempat menulis laporan tentang adanya calon bupati yang memberikan dana sebesar Rp 1 miliar kepada salah satu yayasan di Jakarta. Belakangan terungkap, tokoh yang dimaksud Udin dalam tulisan itu adalah Sri Roso dan Yayasan Dharmais yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Uang itu dikasihkan agar Sri Roso kembali terpilih sebagai bupati Bantul periode kedua, 1996-2001.

Agustus ini, pengusutan kasus Udin genap memasuki umur 15 tahun. Artinya, kasus Udin terancam kadaluwarsa. Padahal Indonesia sudah 5 kali berganti presiden, tapi keadilan untuk Udin dan keluarga tak jua kunjung datang. Jika pelaku tak berhasil dijerat dan mendapat ganjaran setimpal, khawatir, orang tidak akan merasa takut untuk melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan. Cuma soal waktu hingga kita bertemu dengan Udin-Udin lainnya.

***

KEKERASAN yang terjadi pada jurnalis, biasanya disebabkan oleh tiga hal: lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan pers. Lemahnya jaminan keamanan yang diberikan media tempat jurnalis bekerja. Serta aparat dan pengadilan yang tidak pernah serius mengusut kasus kekerasan yang menimpa wartawan.

AJI (Aliansi Jurnalis Independen) mencatat, dibanding 2009 kemarin (sebanyak 37 kasus), 2010 terjadi peningkatan kasus kekerasan yang dialami jurnalis, 46 kasus. Dengan rincian: pembunuhan satu kasus, serangan fisik 15 kasus, perusakan kantor dua kasus, pengusiran/larangan meliput tujuh kasus, sensor dua kasus, tekanan melalui hukum enam kasus, ancaman dan teror lima kasus, perusakan alat dua kasus, demonstrasi dan pengerahan massa dua kasus.

Sedangkan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Pers mencatat, selama kurun waktu 2010, kasus kekerasan yang dialami pers, baik fisik maupun nonfisik, sebanyak 66 kasus. “Jumlah ini meningkat dibandingkan 2009 yang mencapai 56 kasus. Jumlah korban meninggal pada 2010 juga mengalami kenaikan, yakni sebanyak empat kasus dari sebelumnya hanya satu kasus,” kata Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers.

Rinciannya, 37 kasus kekerasan fisik (pemukulan, pengeroyokan, hingga pembunuhan) dan 29 kasus kekerasan nonfisik (perampasan kamera, pelarangan peliputan, intimidasi, dan ancaman teror).

Dari segi pelaku, tercatat preman 12 kasus, polisi 10 kasus, aparat pemerintah 10 kasus, ormas tujuh kasus, massa enam kasus, aparat keamanan enam kasus, TNI dua kasus. Setelah ditelisik, para preman ini adalah suruhan kepala daerah yang tidak berkenan diberitakan oleh media massa.

“Pada 2010, ada empat kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia yang menyebabkan Indonesia masuk dalam daftar Committee to Protect Journalist (CPJ) sebagai salah satu dari lima negara berbahaya bagi jurnalis,” kata Sabam Siagian, pimpinan redaksi The Jakarta Post tahun 1983.

Empat jurnalis yang tewas tersebut, antara lain, Kepala Biro Kompas Wilayah Kalimantan Muhammad Syaifullah pada 26 Juli; reporter Merauke TV Ardiansyah Matra’is, 30 Juli; Ridwan Salamun, Sun TV, 21 Agustus; dan Pemimpin Redaksi Mingguan Pelangi, Maluku, Alfrets Mirulewan, 16 Desember 2010.

Hanya kasus penganiayaan wartawan Solo Pos oleh Komandan Kodim Karanganyar saja yang diproses hukum. World Press Freedom Index yang dikeluarkan Reporters without Borders 2010 menempatkan Indonesia pada ranking 117, sebuah posisi yang masuk kategori ‘merah’. Posisi ini turun dibandingkan posisi 100 pada 2009 dan 111 pada 2008.

***

NASIONALISME seorang wartawan bisa menyebabkan bias jurnalisme. Dalam peliputan, kewarganegaraan seorang jurnalis tidak lebih dari sekedar tambahan referensi atau wawasan. Jurnalisme tidak bisa diikat oleh satu wilayah geografis. Watak jurnalisme itu pula yang tampaknya menyebabkan kasus kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya hak satu-dua negara. Ada begitu banyak Udin di luar sana.

Jagat wartawan dunia sempat diramaikan pemberitaan kematian Sean Hoare (47 tahun) di sebuah rumah di Jalan Langley, Watford, London Utara, 17 Juli kemarin. Hoare adalah wartawan yang membongkar praktik penyadapan telepon oleh Tabloid News of The World. Seperti jamak orang ketahui, tabloid NOTW bekerja di bawah manajemen News International Ltd yang dikendalikan oleh News Corporation yang berpusat di Amerika Serikat. Lembaga pers umum ini milik Rupert Murdoch (80 tahun), seorang miliuner dan konglomerat media. Murdoch juga dikenal sebagai pemilik CNN.

Di tempat dan waktu yang berbeda, dua fotografer yang dikenal sebagai veteran wartawan perang, Hetherington dan Hondros, tewas di tengah pertempuran kota Misrata, Libya, Rabu, 20 April 2011. Menurut laporan Committee to Protect Journalists, lebih dari 251 wartawan tewas dibunuh di 13 negara.

“Target pembunuhan wartawan ini sebagai pesan bagi wartawan lainnya untuk diam, menjamin kalau isu yang sensitif tidak akan diangkat,” demikian pernyataan Eksekutif Direktur CPJ Joel Simon.

Laporan ini keluar sehari setelah jasad wartawan Pakistan Saleem Shahzad ditemukan. Shahzad adalah seorang wartawan yang tengah menginvestigasi soal penyusupan al-Qaeda di angkatan laut Pakistan.

Pedihnya, kebanyakan kasus ini tidak terungkap akibat korupsi dan impotensi lembaga penegak hukum. Dalam laporannya, CPJ memasukkan Irak, Filipina, dan Sri Lanka sebagai negara yang paling tidak bersahabat bagi wartawan.

Di Rusia terjadi perbaikan, karena pada 2010, tidak ada wartawan yang dibunuh dan dua kasus pembunuhan wartawan lainnya menang di pengadilan. Meksiko dianggap memburuk, karena seorang wartawan foto, Luis Carlos Santiago secara brutal ditembak mati pada siang hati di pelataran parker sebuah pusat perbelanjaan.

CPJ juga melansir, 145 wartawan selama 2010 dipenjara di seluruh dunia. Iran dan Cina adalah negara yang paling memusuhi wartawan. Disusul Eritrea, negara di timur laut Afrika yang memenjarakan 17 wartawan dan Myanmar (Burma) yang memenjarakan 13 wartawannya.

Kemarin hari, saya mendapat film dari seorang teman, 5 Days of War. Film ini bercerita tentang perang 5 hari di Georgia, negara bekas bagian Uni Soviet, yang dianeksasi secara brutal oleh Rusia. Dari 7 wartawan perang yang turun ke lapangan, hanya 3 yang berhasil keluar dengan selamat untuk melaporkan kejahatan perang yang telah terjadi. 5 Days of War didedikasikan untuk 500 wartawan perang yang tewas dalam satu dekade terakhir ini.

Setiap harinya di seluruh dunia, ada banyak wartawan yang berani mengambil resiko sebagai korban kekerasan atau bahkan kehilangan nyawa demi menyajikan informasi bagi publik. []

 

Daftar 13 negara yang masuk dalam kategori tidak bersahabat bagi wartawan itu adalah:

1. Irak, 92 kasus
2. Somalia, 10 kasus
3. Filipina, 56 kasus
4. Sri Lanka, 9 kasus
5. Kolombia, 11 kasus
6. Afghanistan, 7 kasus
7. Nepal, 6 kasus
8. Meksiko, 13 kasus
9. Rusia, 16 kasus
10. Pakistan, 14 kasus
11. Bangladesh, 5 kasus
12. Brasil, 5 kasus
13.India, 7 kasus

Catatan:
Dalam hitungan CPJ, pada 2011, sudah 18 wartawan yang dibunuh. Sejak 1992, ada 863 wartawan yang terbunuh dan 145 wartawan lainnya dipenjara akibat pemberitaan yang mereka buat. (Sumber: BBC Indonesia).

Peringkat negara yang memusuhi wartawan:

Cina: 34 wartawan
Iran: 34 wartawan
Eritrea: 17 wartawan
Burma: 13 wartawan
Uzbekistan: 6 wartawan
Vietnam: 5 wartawan
Kuba: 4 wartawan
Ethiopia: 4 wartawan
Turki: 4 wartawan
Sudan: 3 wartawan
Bahrain: 2 wartawan
Kyrgyzstan: 2 wartawan
Suriah: 2 wartawan
Indonesia: 1 wartawan
Irak: 1 wartawan
Rusia: 1 wartawan
Arab Saudi: 1 wartawan

Sumber: Rilis ISAI

 

BAHAN BACAAN: Slamet Ginting, Suka Tuan, Duka Wartawan, Restrepo Tinggal Kenangan, Nyawa Udin Di Atas Nota Sang Kolonel, dan Pers Meliput Maut Menjemput. Republika Online. | Taufik Rahzen, et.al., Tanah Air Bahasa, (Indonesia Buku, 2007). | Press Freedom Index 2011, Reporters Without Borders.

 

NB: Artikel ini saya terbitkan dalam Indopahit #4 | Agustus 2011 | Udin

Tags:

Leave a comment